Dalam sejarahnya,
Indonesia mengenal trafficking melalui
perbudakan yang upaya penghapusannya secara perlahan telah dimulai tahun 1854
dengan diundangkannya Wet No. 2 Tahun 1854 yang diundangkan dalam Staatsblad
No. 2 Tahun 1855 tentang Reglement op het
Beleid der Regering van Nederlands-Indie (RR) yang dalam Pasal 169 menentukan “Paling
lambat 1 Januari 1860 perbudakan di Hindia Belanda Sudah harus dihapus secara
total”[1].
Mengenai ancaman hukuman diatur dalam Pasal 297, 298,Wetboek van Strafrecht (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana). Upaya yang dilakukan saat itu baru sebatas pada
ketentuan tertulis, sementara yang terjadi trafficking masih
menjadi pemandangan biasa, khususnya dalam pelaksanaan kerja paksa.
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pasal 72 ayat (1) berbunyi: "Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)."
Friday, 14 October 2016
Sejarah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu,
sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga
era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun
hasilnya masih jauh panggang dari api.
Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik
memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang
berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan,
kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah
Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah
politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi
itu, khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah mendarah daging mampu
mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu
lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola
pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan
“perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan
banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.
Era
Sebelum Indonesia Merdeka
Subscribe to:
Comments (Atom)