Dalam sejarahnya,
Indonesia mengenal trafficking melalui
perbudakan yang upaya penghapusannya secara perlahan telah dimulai tahun 1854
dengan diundangkannya Wet No. 2 Tahun 1854 yang diundangkan dalam Staatsblad
No. 2 Tahun 1855 tentang Reglement op het
Beleid der Regering van Nederlands-Indie (RR) yang dalam Pasal 169 menentukan “Paling
lambat 1 Januari 1860 perbudakan di Hindia Belanda Sudah harus dihapus secara
total”[1].
Mengenai ancaman hukuman diatur dalam Pasal 297, 298,Wetboek van Strafrecht (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana). Upaya yang dilakukan saat itu baru sebatas pada
ketentuan tertulis, sementara yang terjadi trafficking masih
menjadi pemandangan biasa, khususnya dalam pelaksanaan kerja paksa.
Konferensi
internasional pertama tentang “trafficking in women”
yang diadakan di paris tahun 1895. Sembilan tahun kemudian 1904, di kota yang
sama, 16 negara kembali mengadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan
internasional menentang Perdagangan budak berkulit putih (Internasional Convention for the Suppression of the White Slave
Trade). Kesepakatan tersebut menentang dipindahkannya perempuan ke
luar negeri dengan tujuan pelanggaran kesusilaan[2].
Enam tahun kemudian, isi konvensi ini diperluas dengan memasukkan persoalan
perdagangan perempuan di dalam negeri. Konvensi ini mewajibkan negara untuk
menghukum siapapun, yang membujuk orang lain, baik dengan cara menyeludupkan
atau dengan menggunakan kekerasan, paksaan, penyalahgunaan kekuasaan, atau
dengan cara lain dalam memaksa, mengupah, menculik atau membujuk perempuan
dewasa untuk tujuan pelanggaran kesusilaan.
Kemudian tahun 1949
sidang umum PBB mengadopsi the
Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the
Exploitation of the Prostitution of Others,yang menggantikan semua
traktat yang terdahulu. Menurut konvensi ini, prostitusi dan semua perbuatan
jahat yang menyertai perdagangan orang untuk tujuan prostitusi bertentangan
dengan harga diri, kepatutan dan kehormatan serta membahayakan kesejahteraan
individu, keluarga dan komunitasnya.
Terakhir, pada tahun 2000 di Palermo Itali
diselenggarakan konferensi PBB mengenai Transnational
Organized Crime, termasuk di dalamnya adalah
mengenai perdagangan orang, khususnya wanita dan anak-anak[3]. Indonesia telah meratifikasi sekian konvensi tentang perdagangan
perempuan khususnya perempuan dan anak. Sebagai wujud komitmen Indonesia dalam menjalankan Konvensi Palermo terlihat
dengan dilahirkannya Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor: 58).
Undang-undang ini pun lahir dilandasi pemikiran bahwa perdagangan orang,
khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan
harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia; bahwa perdagangan
orang telah meluas dalam bentuk jaringan yang terorganisasi maupun tidak,
sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara maupun luar
negeri; dan bahwa keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana
perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional dan
internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap
pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerjasama.
Sebenarnya,
Indonesia sudah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur larangan
perdagangan orang. Dalam pasal 297 KUHP misalnya, telah diatur larangan
perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa. Selain itu, pasal 83
UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA), juga menyebutkan
larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk sendiri atau
dijual. Namun peraturan-peraturan tersebut tidak merumuskan pengertian
perdagangan orang secara tegas. Bahkan pasal 297 KUHP memberikan sanksi terlalu
ringan dan tidak sepadan yakni diancam dengan pidana maksimal 6 tahun penjara.
Hadirnya
Undang-Undang No.21 tahun
2007 tentang Perdagangan Orang yang dikukuhkan pada tanggal 19 April 2007
adalah sebagai upaya untuk memberikan perlindungan hukum, baik secara langsung
maupun tidak langsung kepada korban dan calon korban agar tidak menjadi korban.
Bahkan tahun 2009, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Transnational Organized Crime dengan
Undang-undang No. 5 Tahun 2009, tanggal 1
Januari 2009. Dengan telah diratifikasinya Konvensi PBB tersebut, berarti
Indonesia telah benar-benar merupakan bagian dari upaya penanggulangan tindak
pidana perdagangan orang secara global.
*dikutip dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment