Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pasal 72 ayat (1) berbunyi: "Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)."

Friday, 14 October 2016

Lahirnya Undang-Undang Perdagangan Orang

Dalam sejarahnya, Indonesia mengenal trafficking melalui perbudakan yang upaya penghapusannya secara perlahan telah dimulai tahun 1854 dengan diundangkannya Wet No. 2 Tahun 1854 yang diundangkan dalam Staatsblad No. 2 Tahun 1855 tentang Reglement op het Beleid der Regering van Nederlands-Indie (RR) yang dalam Pasal 169 menentukan “Paling lambat 1 Januari 1860 perbudakan di Hindia Belanda Sudah harus dihapus secara total”[1]. Mengenai ancaman hukuman diatur dalam Pasal 297, 298,Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Upaya yang dilakukan saat itu baru sebatas pada ketentuan tertulis, sementara yang terjadi trafficking masih menjadi pemandangan biasa, khususnya dalam pelaksanaan kerja paksa.
Konferensi internasional pertama tentang “trafficking in women” yang diadakan di paris tahun 1895. Sembilan tahun kemudian 1904, di kota yang sama, 16 negara kembali mengadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan internasional menentang Perdagangan budak berkulit putih (Internasional Convention for the Suppression of the White Slave Trade). Kesepakatan tersebut menentang dipindahkannya perempuan ke luar negeri dengan tujuan pelanggaran kesusilaan[2]. Enam tahun kemudian, isi konvensi ini diperluas dengan memasukkan persoalan perdagangan perempuan di dalam negeri. Konvensi ini mewajibkan negara untuk menghukum siapapun, yang membujuk orang lain, baik dengan cara menyeludupkan atau dengan menggunakan kekerasan, paksaan, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan cara lain dalam memaksa, mengupah, menculik atau membujuk perempuan dewasa untuk tujuan pelanggaran kesusilaan.
Kemudian tahun 1949 sidang umum PBB mengadopsi the Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others,yang menggantikan semua traktat yang terdahulu. Menurut konvensi ini, prostitusi dan semua perbuatan jahat yang menyertai perdagangan orang untuk tujuan prostitusi bertentangan dengan harga diri, kepatutan dan kehormatan serta membahayakan kesejahteraan individu, keluarga dan komunitasnya.
     Terakhir, pada tahun 2000 di Palermo Itali diselenggarakan konferensi PBB mengenai Transnational Organized Crime, termasuk di dalamnya adalah mengenai perdagangan orang, khususnya wanita dan anak-anak[3]. Indonesia telah meratifikasi sekian konvensi tentang perdagangan perempuan khususnya perempuan dan anak. Sebagai wujud komitmen Indonesia dalam menjalankan Konvensi Palermo terlihat dengan dilahirkannya Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor: 58). Undang-undang ini pun lahir dilandasi pemikiran bahwa perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia; bahwa perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan yang terorganisasi maupun tidak, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara maupun luar negeri; dan bahwa keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerjasama.

Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur larangan perdagangan orang. Dalam pasal 297 KUHP misalnya, telah diatur larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa. Selain itu, pasal 83 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA), juga menyebutkan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk sendiri atau dijual. Namun peraturan-peraturan tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan orang secara tegas. Bahkan pasal 297 KUHP memberikan sanksi terlalu ringan dan tidak sepadan yakni diancam dengan pidana maksimal 6 tahun penjara.

Hadirnya Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Perdagangan Orang yang dikukuhkan pada tanggal 19 April 2007 adalah sebagai upaya untuk memberikan perlindungan hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada korban dan calon korban agar tidak menjadi korban. Bahkan tahun 2009, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Transnational Organized Crime dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2009, tanggal 1 Januari 2009. Dengan telah diratifikasinya Konvensi PBB tersebut, berarti Indonesia telah benar-benar merupakan bagian dari upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang secara global.

*dikutip dari berbagai sumber

No comments:

Post a Comment